TruyenHHH.com

Katarsis Haechan


Happy reading!

🌠

Di hari senin pagi, Gia sudah bangun. Sudah mandi dan memakai seragamnya. Saat membereskan buku dan peralatan sekolahnya, mata Gia tertarik untuk menatap topi hitam yang dipinjamkan Haechan padanya saat malam minggu kemarin.

Gia menarik senyumnya mengingat kejadian saat itu sambil mengambil topi hitam milik Haechan. Tambahan, Gia juga merasa tidak enak mengingat semalam sikap manajernya itu sangatlah tidak bersahabat makanya Gia juga ingin meminta maaf atas sikap kasar Nadya itu. Meski rasanya Gia tidak mau mengembalikan topi ini pada pemiliknya, tapi kalau tidak dikembalikan Gia akan canggung nantinya karena tidak ada alasan untuk mengobrol.

Sepertinya Haechan itu bukan tipe orang yang senang mengobrol atau bercerita, tapi rasanya Gia ingin terus mengajak Abang itu terus bicara.

Entah, mungkin karena Abang itu tampan.

Gia terkekeh lalu pipinya memerah, malu sendiri dengan apa yang dipikirkannya.

Gia dengan cepat memasukan topi itu kedalam tas pink dengan gantungan Doraemon miliknya. Menyampirkannya dibahu, lalu keluar kamar bersiap untuk menemui Mami dan Papinya.

"Pagi, Mi." Gia menyapa Mami yang sudah tampak sibuk pagi ini, tapi Mami memang selalu tampak sibuk.

Gia tak mau membuat Maminya semakin repot dengan pertanyaan-pertanyaan darinya, jadi bocah itu mengambil setangkup roti gandum berisi selai strawberry yang sudah dibuatkan Maminya ini.

Lalu tanpa bisa diduga sama sekali, tanpa kata Mami memberikan paper bag dihadapannya. "Buka aja, sayang."

Mengangguk dan mengikuti perintah sang Mami, Gia membuka paper bag yang berisi kotak ponsel dari logo terkenal itu. Mata Gia sudah berbinar senang. "Mi?"

"Iya, buat kamu." Mami memutuskan sambungan ponselnya dan menaruhnya di meja makan.

"Kok- bisa?" Gia malah tercekat oleh rasa tak percaya dan senang.

"Tunjukin ke temen-temen kamu, kalo kamu itu artis hebat dan Mami tuh nggak pelit." Mami berucap serius. "Alasan Mami nggak ngasih kamu ponsel selama ini supaya kamu fokus untuk acting dan sekolah. Tapi ngedenger curhatan kamu yang bilang kamu cupu karena belum punya ponsel, Mami jadi lumayan kesel."

Gia mengulum senyum. Mungkin curahan hati itu dia ceritakan beberapa hari yang lalu, tapi Mami masih mengingatnya bahkan disaat dirinya sudah lupa. Waktu itu Gia diledek teman sekelasnya yang mengatakan Gia hanyalah artis cupu dan tidak mampu karena tidak mempunyai ponsel.

Gia bangkit dari duduknya dan memeluk Mami dengan cepat. "Makasih, Mami." tambahan Gia pun mencium pipi kiri Maminya.

"Udah, buruan sarapan dulu. Pak Jarwo udah nunggu." Mami menyuruh Gia untuk bergegas. "Itu ponselnya udah bisa langsung kamu pakai, pamerin sana sama temen-temenmu itu. Tapi inget di jaga baik-baik ya, jangan dipakai buat yang aneh-aneh apalagi buat chat-chat sama cowok. Kamu belum boleh punya pacar, ngerti?"

"Ngerti Mami, makasih ya Mami. Eh, tapi kalo chatnya sama temen sekelasku kayak Zidan sama Chenle nggak papa, kan?" Gia bertanya penuh harap.

"Chenle sepupunya Ningning yang Papanya direktur perusahaan tambang batu bara itu, kan?" Gia mengangguk, lalu bertanya kembali. "Trus kalo Zidan yang Papanya manajer investasi itu, ya?" lagi, Gia mengangguk. "Iya, nggak papa. Kalo mereka nggak papa, oke?"

"Makasih lagi, Mami."

Pagi itu, Gia merasa sangat senang. Sampai ketika dia diantar Pak Jarwo kesekolahnya, senyumnya masih mengembang. Gia hanya tersenyum pada teman-teman sekelas yang menyapanya.

"Ada apa nih, pagi-pagi mukanya udah cerah gitu?Tumben," tegur Moni ketika melihat betapa cerahnya wajah Gia.

"Nggak papa, Gia lagi seneng aja," sahut Gia lalu duduk dikursinya. "Oh iya, Gia boleh simpen nomer hape kalian nggak? Mau dong..."

"Emang udah punya hape?" tanya Ningning dan bersama Moni mendekat lalu duduk dikursi didepan Gia.

Gia mengangguk senang dan menunjukkan ponsel dari sakunya.

"Woah, yang keluaran terbaru lagi. Pantesan lo seneg gini." ucap Moni.

"Hehe. Nggak tau, tiba-tiba dibeliin Mami..."

"Oke, sini sini, ni nomer aku. Nanti kita bisa chat-an lewat whatsapp!" Ningning mengambil ponsel baru itu dari tangan Gia dan mengetikkan nomer ponselnya sendiri. Lalu menghubunginya dari ponsel Gia sehingga dia pun memiliki nomer Gia. "Duh, ini aja belum punya whatsapp. Sini-sini, aku download-in ya, Gi."

"Eh, download instagram juga, Ning. Masa artis terkenal nggak punya instagram."

"Oke, sekalian nih aku download tiktok. Nanti kalo kita bikin tiktok akun kamu kita tag."

Gia mengangguk saja, membiarkan Ningning dan Moni mengotak-atik ponselnya. Tentu saja Gia memperhatikan itu semua dengan seksama sambil mencoba mengingatnya. Gia cukup ketinggalan untuk anak seumurannya yang sering main media sosial karena Maminya yang melarang. Sampai pembuatan akun tiktok dan instagram itu selesai oleh kedua temannya ini, Gia menghentikan jemari Ningning yang akan membuat postingan foto pertama di akun instagram-nya.

"Tapi kayaknya jangan upload foto Gia dulu, deh. Gia takut dimarahin Mami sama Kak Nadya..."

Ningning berpandangan dengan Moni, lalu mengangguk menghormati permintaan Gia karena memang mereka pun mengetahui bagaimana sikap keras Maminya Gia ini

"Yaudah, nanti pas istirahat kita ajarin cara mainnya aja, yaa?"

"Okesipp!"

Moni berucap begitu karena bel jam pelajaran sudah berbunyi. Moni dan Ningning berpindah ketempat duduk mereka masing-masing. Lalu masuklah Zidan yang datang kedalam kelas sambil berlari, untungnya tepat sebelum guru datang. Mendudukkan diri disamping Gia, Zidan menarik napas dalam.

"Zidan, datangnya jangan telat terus. Nanti dimarahin Bu Guru," ucap Gia berbisik pada Zidan yang tampaknya masih mengantuk.

"Biasalah, Gi. Namanya juga cowok, semaleman gue nge-game," balas Zidan sama berbisik juga.

Gia mendecih pelan mendengar jawaban itu. Tak seberapa lama seorang guru matematika perempuan datang dan mulai mengajar. Hari ini mereka belajar koordinat kartesius yang sama sekali Gia tidak pahami.

Untuk urusan akademik, Gia mungkin tidak sepintar itu jika dibandingkan dengan berakting. Gia termasuk golongan yang sulit menerima pelajaran terutama pelajaran matematika. Makanya Gia merasa otaknya seperti terbakar saat mempelajari pelajaran yang tidak di mengertinya ini. Untungnya berbeda dengan dirinya, teman-temannya seperti Moni, Zidan dan Chenle, mereka malah termasuk murid yang cerdas yang sering sekali berebut rangking teratas dikelasnya. Apalagi dimata pelajaran Matematika, bagi Zidan rumus itu sudah kayak makanan sehari-hari. Jadi saat mata pelajaran berlangsung, Gia banyak bertanya pada Zidan tentang soal-soal yang diberikan ibu guru. Yang untungnya lagi, Bu Guru tidak memarahi mereka saat asik berdiskusi.

Lalu saat bel istirahat berbunyi, Gia langsung ditarik oleh Ningning dan Moni menuju kantin sementara Zidan mengikuti dari belakang. Katanya mau menyusul Chenle yang katanya hari ini malah belajar di perpustakaan untuk olimpiade beberapa minggu lagi.


Kantin disekolahnya ini menyiapkan makanan gratis dan terjamin kebersihannya. Sambil mengantri dengan food tray ditangan, Ningning dan Moni banyak bercerita, Gia hanya mendengarkan dan mengangguk sesekali.

"Bu, nasi sama lauknya kebanyakan..." Gia mencicit pelan saat ibu penjaga kantin memberikan porsi lebih di nampannya. Bukan takut tidak habis, tapi Mamanya selalu mengingatkan Gia untuk tidak makan sebanyak itu.

"Nggak papa, Nak. Ini dari Ibu, karena kamu jarang makan disini. Lagipula hari ini lauknya katsu curry, kesukaan kamu, kan?"

"Hari ini menunya enak, Gi. Nanti kalo nggak abis buat gue aja." Zidan yang berdiri dibelakangnya berucap sambil mendekatkan kepalanya kearah Gia.

"Enak aja! Nanti Gia makan semuanya kok," balas Gia cepat. "Makasih banyak, Ibu. Pasti Gia abisin sampai bersih!"

Ibu penjaga ramah itu segera tersenyum sambil menaikkan dua jempolnya untuk Gia. Lalu mengikuti Ningning yang sudah berjalan ke tempat duduk yang ada dipojok ruangan, yang mana sudah ada Chenle yang sedang makan sambil sesekali mengetikkan sesuatu pada laptopnya.

"Kepala gue panas, anjing!" Chenle mengumpat begitu mereka duduk bersebelahan dikantin dengan food tray berisikan makanan.

"Le, ngomongnya kasar, ih. Nanti aku bilangin Mommy, ya?!" ancam Ningning. "Baru juga mau duduk!"

Chenle mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Terlihat tambah kesal jika Ningning sudah mengeluarkan ancaman seperti itu, tapi dirinya tidak bisa melawan apapun. Ningning itu kesayangan Mommy-nya. Jika ada pertanyaan siapa yang akan didengar Mommy, antara dirinya dan Ningning, sepupunya ini, maka tanpa ragu Mommy akan lebih mempercayai Ningning.

"Kepala Gia juga panas, matematika nyebelin." Gia manyun. "Kenapa yaa, Gia nggak sepinter Zidan di matematika?"

"Heh, manusia tuh ada batasannya. Zidan emang pinter matematika, tapi kalo Zidan disuruh buat acting kalo lagi ada tugas drama, Zidan pastinya cuma mau jadi pohon karena tubuhnya yang tinggi menjulang," kata Moni membuat Gia dan Ningning sontak tertawa sedangkan Zidan hanya mendecih.

Memang waktu kelas 7 kemarin, mereka mendapatkan tugas pementasan drama, tapi Zidan hanya mau memerankan sebuah pohon yang hanya bergoyang kekanan dan kekiri.

"Nah udah tau manusia ada batasannya, tapi kok lo malah melewati batas dan makin nggak tau diri, Moni?"

"Maksud kamu apa ngomong gitu apa, Bella?" tanya Ningning pada Bella, teman sekelas mereka tapi sering menganggap mereka musuh.

"Aku cuma bilang Moni tuh nggak tau diri, udah miskin dan cuma anak beasiswa, tapi masih aja nempel dikalian," tukas Bella masih sambil memegangi food tray ditangannya dan teman-temannya dibelakang cewek itu. "Kenapa? Buat cari perlindungan yaa, diketek anak-anak orang kaya?"

"Bacotnya bisa dijaga, nggak?" tanya Chenle, wajah marahnya sudah terlihat. "Jangan cuma karena lo anak dari Ketua Yayasan, bisa seenaknya sama gue dan temen-temen gue."

Arabella mendengus, dikenal sombong dan angkuh karena ayahnya Ketua Yayasan sekolah ini. Sering mengangap remeh dan merendahkan Mona dan anak-anak sekolah lain yang mendapatkan beasiswa. Dan yang lebih parah lagi, mempunyai dendam pribadi dengan Gia karena menganggap Gia telah mengambil peran utamanya saat pementasan drama kelas 7 kemarin. Seakan ia lupa, bahwa masih ada kelas lain diatasnya, yaitu Chenle dan sepupunya Ningning. Tapi menyerah tentu saja bukan dirinya. "Oh, apa kalian semua emang gitu yaa, bermuka dua? Sok-sok rendah hati dengan berteman sama orang miskin, sama tuh kayak si Gia yang sering caper ke yang lain terutama guru-guru, biar nggak dikira artis sombong."

Zidan sudah berdiri, siap sekali untuk menghajar Bella kalau perlu, tapi tangannya sudah ditahan Gia.

"Zidan nggak usah ribut sama Bella," bisik Gia takut-takut.

"Lo mendingan pergi deh, Bel. Ada lo disini suasananya langsung pengap, bikin mau muntah aja." lanjut Zidan sarkas. "Eh, dayang-dayang, bawa sono ratu kalian pergi."

Bella terlihat murka, namun menahan diri dan menurut tarikan kedua temannya. Sebelum pergi Bella melototi Gia dan Moni bergantian. Sementara Gia melihati kepergian geng itu dengan bingung.

"Padahal Gia udah minta maaf, sebelum kenaikan kelas. Tapi kenapa Bella masih marah terus ya sama Gia?"

"Iya gue juga heran. Kalo marahnya sama gue sih, jelas. Karena mungkin jiwa pembullynya itu nggak terima kalo gue yang miskin ini temenan sama kalian. Tapi kenapa masih musuhin Gia juga?" timpal Moni.

"Gia sama Moni nggak usah mikirin tingkah anehnya si Bella." Ningning berucap menghentikan pemikiran yang bisa saja semakin tidak-tidak. "Udah makan lagi."

Gia menurut, begitu juga Moni. Mereka kembali fokus pada makanan masing-masing. Sampai Moni berjengit mengageti keempat temannya. "Chenle sama Zidan udah tau belom, kalo Gia udah punya hape baru?"

"Oh ya? Mana coba liat?" Zidan meminta Gia untuk menunjukkan ponselnya.

"Ini. Hehe." Gia mesem-mesem malu.

"Woah, mantap. Sini-sini, di hape lo ini harus ada nomer orang paling ganteng disekolah ini." ujar Chenle percaya diri, lalu ditimpuki tisu bekas yang dipakai oleh Ningning yang tidak terima.

"Yeu!!"


🌠



Sebagaimana yang sudah dibilang Gia pada Haechan kemarin, Gia benar-benar senang jika berada disekolah. Disana bagaikan tempat pelarian sejenak dari berbagai aktifitas syuting yang melelahkan. Meskipun secara nilai akademiknya belum mencapai tempat diatas rata-rata yang sama seperti ketiga temannya yang menurutnya super cerdas itu, tapi Gia tidak pernah terbenani-kecuali, jika Papi sudah mulai mengomel tentang nilainya yang menurun.

Dulu, Gia tidak pernah mendapatkan sekolah formal karena kesibukan syutingnya itu. Papi yang sering membawakan guru untuk mengajarkan Gia beberapa kali dalam seminggu ke rumah atau ke lokasi syuting. Sampai akhirnya Papi dan Mami bertengkar lagi soal Gia yang perlu untuk pergi kesekolah, barulah Gia dimasukkan kesekolah formal ketika SMP. Gia masih canggung jika berhadapan dengan orang banyak, apalagi jika orang-orang itu seperti Bella yang sering menuduhnya artis sombong. Tapi memiliki teman seperti Moni, Ningning, Chenle dan Zidan rasanya tidak buruk. Malahan karena mereka, Gia jadi lebih semangat untuk selalu ke sekolah.

"Hari ini Gia ada les piano nggak sama Ms. Teona?"

Gia menggeleng. "Nggak ada, Ning. Makanya aku mau nunggu Pak Jarwo di minimarket depan aja."

"Mau makan popmie lagi?"

Gia menggeleng menjawab pertanyaan Moni. "Tapi Gia emang mau jajan aja disana, kalian mau ikut?"

"Ikut. Sekalian nunggu supir juga," balas Ningning.

"Gue juga ikut deh, nanti pas supir kalian dateng, baru gue pulang."

Dengan ditemanin Moni dan Ningning, Gia masuk kedalam minimarket. Berlagak mencari barang seperti biasanya, tapi kali ini dahi Gia berkerut heran. Abang Haechan kemana?

"Total semuanya 68.500 ya." Dion yang sedang berjaga memasukkan barang yang dibeli Gia kedalam kantong plastik.

Setelah membayar semuanya, Gia tidak juga menyingkir dan pergi dari kasir. Membuat Dion menatapinya dengan pandangan menyelidik.

"Gi, ayo." ajak Moni dan Ningning.

Gia mengangguk pelan dan mengikuti ajakan Ningning dan Moni. Niat mereka memang ingin menunggu supir Ningning dan Gia sambil duduk didepan minimarket ini. Tapi baru sebentar mendudukkan bokongnya, Gia bangkit dan masuk lagi kedalam minimarket.

"Kenapa, dek?" tanya Dion pada akhirnya.

"Abang yang biasanya jaga kasir disini, kemana?" tanya Gia.

Dion memutar bola matanya. "Kenapa seharian inj banyak yang nanyain dia terus sih? Udah gue usir orangnya!" Dion menyalak galak.

Gia manyun. "Gia kan cuma nanya."

"Nggak ada. Udah sana," Dion mengusir Gia dengan tidak sopan. Sampai punggung Dion dipukul oleh Ardi yang sudah ada disampingnya sejak tadi, namun anaknya itu tidak menyadari kehadirannya. "Argh! Sakit, Papa!"

"Kamu nggak boleh kasar sama pelanggan!"

"Bodo, nanti yang sepi kan toko Papa ini!" Dion pergi meninggalkan Papanya sambil mendumel.

"Yaudah, biarin! Nanti toko ini Papa hibahin aja ke Haechan!" Ardi tidak menyahuti Dion yang sedang meledeknya. Anak itu hanya sedang kesal karena harus bertukar shift dengan Haechan dihari ini, padahal sudah ada janji main dengan temannya. "Neng, nyariin Haechan? Ada perlu apa?" tanya Ardi pada Gia yang masih berdiri disana.

"Ah, nggak papa kok, Pak. Emangnya abang Haechannya kemana ya, Pak?"

"Haechan izin, katanya keperluan dulu hari ini. Ada yang mau kamu titipin?"

Gia terdiam sejenak lalu membalas. "Nggak ada, Pak. Makasih, Pak."

Setelahnya Gia kembali ke meja berpayung dimana ada dua temannya yang sedang menikmati snack mereka.

"Ngapain sih didalam?" tanya Moni

Gia tetap menggeleng lalu tersenyum. "Aku kepengen beli popmie, tapi nggak jadi deh."

Kedua temannya itu percaya. Tanpa perlu meragukan Gia yang wajahnya nampak terlihat sedih.

Haaf, padahal Abang Haechan yang nyuruh datang kemarin, tapi dianya malah nggak ada. Batin Gia menanyakan keberadaan Haechan.


🌠


Moni

Ningning


Zidan

Chenle

Bạn đang đọc truyện trên: TruyenHHH.com