1 20 Twenty Spring
"Di bawah sinar matahari senja, aku melihat bayanganmu dari belakang. Angin lembut yang menerbangkan rambutmu dan sepasang ayunan yang menunggu. Aku harap musim dingin tahun ini bisa jadi hari dengan kenangan indah untukmu, sebab kita tak bisa lagi bertemu di musim semi."
***
Tubuhnya sudah mencapai batasan.
Sejeong terduduk di meja kerjanya, menyandarkan tubuh pada punggung kursi sambil menatap langit-langit kantornya. Kepalanya pusing dan ia benar-benar merasakan lelah di seluruh tubuhnya.
Pergi rapat di pagi hari, setelah makan siang membahas beberapa proyek, lalu malam hari menyelesaikan deadline dan kembali ke apartemen pun ia masih harus bekerja. Tapi masalahnya, dalam dua minggu ini ia hanya pulang ke apartemen dua kali.
"Hei, nona sibuk!" ucap Ten lalu duduk di kursinya. Seperti biasa ia akan mengganggu Sejeong dengan menggeser duduknya mendekati perempuan itu. "Kau sudah makan malam?"
"Diam! Aku pusing sekarang.."
"Pusing karena pekerjaan?" lalu Ten dengan sembarangan menempelkan punggung tangannya pada kening perempuan itu dan sebelah alisnya terangkat. "Kim Sejeong, sebaiknya kau pulang sekarang!"
"Aku akan baik-baik saja setelah istirahat.."
"Tidak! Bukan di sini! Pulang dan tidurlah di apartemenmu!"
Sejeong tidak merespon. Ia mendekatkan kursinya dengan meja, menelungkupkan wajah pada tangannya yang terlipat sambil membungkus kepalanya sendiri dengan jaket. Setelahnya ia sudah tidak mau mendengarkan Ten yang sedang mengomelinya. Benar, tidur sebentar akan membuatnya merasa-
Suara dering ponsel membuat Sejeong terlonjak. Ia segera meraih ponselnya itu dan mengangkat panggilan yang masuk.
"Oh? Benarkah? Apa? Ada masalah?!"
Sejeong bangkit dari duduknya dan segera berjalan keluar dari ruangan. Ten hanya menatap kepergian perempuan itu sambil menghela napas berat. Pada akhirnya Sejeong tidak jadi beristirahat lagi, bahkan ia juga belum makan malam.
Ten melirik ke arah meja, layar ponselnya menyala dan ia segera meraih ponselnya itu. Waktu yang tepat sekali lelaki itu menelepon, sudah sekitar dua minggu ini orang itu sering menghubunginya.
"Johnny hyung?" Ten menatap ke arah pintu ruang departemennya, memastikan Sejeong tidak tiba-tiba muncul dan merebut ponselnya. "Sejeong masih bekerja. Sepertinya barusan dari ruang cetak yang meneleponnya. Dia menyebut soal undangan."
"Dia sudah makan malam?"
Lelaki itu menelan salivanya dengan susah payah. Benar, ia sudah berusaha menyuruh Sejeong makan! Memang perempuan itu saja yang susah untuk disuruh!
"Belum, hyung.. Sejeong, juga sedikit kurang sehat. Tubuhnya demam.."
"Kau sudah menyuruhnya untuk istirahat?"
Satu alisnya terangkat. Tidak biasanya Johnny terdengar tenang saat bicara soal Sejeong. "Sudah. Tapi dia masih keras kepala.. Sepertinya memang dia harus ambruk dulu baru benar-benar mau istirahat!"
Ten sudah tidak tahan dan membiarkan mulutnya bicara sembarangan, namun tidak berapa lama ia mendengar suara ribut dari luar. Kemudian Sejeong masuk ke ruangan dengan Doyoung mengekor di belakangnya.
"Aku baik-baik saja!"
"Kau hampir jatuh!"
"Kalau aku jatuh ya sudah! Apa urusannya denganmu?!"
"Hei-hei, Tuan dan Nona Kim!"
Ten berdiri di antara keduanya dengan mengangkat kedua tangan menahan Doyoung. Ia menoleh ke belakang di mana Sejeong sudah duduk di tempatnya.
"Doyoung, jangan buat keributan!" ucap Ten setelah mengalihkan perhatiannya pada lelaki itu. Ia menatap Doyoung tajam. "Ini masih area kantor kalau kau lupa!"
"Aku ingin bicara dengan Sejeong-"
"Kalau kau bicara tentang hal itu, lebih baik kau pergi! Aku tidak akan pergi!"
Ten kebingungan, kemudian memilih memukul kaki Doyoung dan membuat lelaki itu menjerit kecil. Ten mendorong Doyoung keluar setelahnya supaya tidak ada lagi keributan-padahal dirinya sendiri juga membuat ribut.
"Aku yang urus!" ucap Ten pada Sejeong sekilas sebelum benar-benar mendorong Doyoung keluar.
"KIM SEJEONG AKU BENAR-BENAR AKAN DATANG, EOH?!"
Keduanya sekarang berada di luar ruang departemen produksi dan Ten memusatkan perhatiannya pada Doyoung. Lelaki itu bersedekap, menatap Doyoung penuh selidik.
"Sekarang jelaskan! Aku yakin kau bukan hanya mengkhawatirkan kondisinya, Kim! Sejeong tidak akan semarah itu."
Doyoung menaikkan sebelah alisnya, sedikit memiringkan tubuh membelakangi Ten. Lelaki itu mendenguskan tawa remeh dan ikut bersedekap dada. "Sejak kapan kau ikut campur urusan orang?"
"Iya, aku tahu kalau aku ikut campur!" lalu Ten menepuk bahu Doyoung dengan sebelah tangannya. "Jadi karena sudah terlanjur, cepat katakan!"
Doyoung menepis tangan Ten di bahunya, tapi pada akhirnya ia mengatakan apa yang ia ucapkan pada Sejeong sampai perempuan itu marah. "Aku mau mengajaknya ke Yeosu, puas?!"
"Yeosu?" Ten berpikir sejenak, "kampung halaman kalian?"
"Iya."
"Untuk apa?!!"
Lelaki itu hanya mengedikkan bahu dan memutar bola mata malas. Setidaknya tadi ia sudah memberitahu Ten, tidak perlu termasuk dengan tujuan yang lainnya.
"Sebaiknya kau pergi saja."
"Apa?!" Doyoung membelalak terkejut, ia menyentuh bahu Ten dengan dua tangannya. "Aku masih ada urusan-"
"Sejeong sedang tidak enak badan dan jangan membuatnya semakin sakit dengan mendengar permintaanmu itu!"
Doyoung terdiam, menarik napas dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Setelah dipikir-pikir ucapan Ten ada benarnya. Entah sudah berapa kali dalam pertemuan mereka, Doyoung sudah terlalu sering mengacaukan suasana hati perempuan itu. Sejeong sedang tidak enak badan dan ia semakin menambah beban pikirannya.
"Baiklah.." Akhirnya Doyoung menyerah. Ia tersenyum pada Ten dan menepuk bahu lelaki itu sekali. "Kau bisa antar dia pulang, kan?"
"Itu memang yang mau aku lakukan."
"Tolong katakan padanya juga, lusa aku datang ke rumahnya!"
Ten mengembuskan napas lega setelah melihat Doyoung pergi dari hadapannya dengan langkah berat-walaupun ia juga tidak yakin dengan permintaan terakhirnya. Lelaki itu merogoh saku celananya, tadi ia belum sempat mematikan teleponnya. Apa Johnny mendengar semuanya?
Ah! Masa bodoh!
Sekarang tugasnya adalah mengantar Sejeong pulang ke apartemennya.
***
Johnny menarik ponselnya perlahan, memutuskan panggilan setelah mendengar semua percakapan dan bunyi keributan di seberang. Ia meletakkan ponselnya itu di meja kerja, mengusap wajahnya sambil menghela napas berat.
Ia tidak bisa menutupinya, sekalipun proses mengajar dan pekerjaan lainnya ia lakukan dengan lancar, tapi Johnny tidak bisa menyembunyikan fakta kalau ia memikirkan perempuan itu, mengkhawatirkannya.
Sejeong memang pandai soal menghindar, maka dari itu ia hampir tidak pernah pulang ke apartemen. Ten juga sempat bilang kalau Sejeong menginap di tempat teman kantornya dan Chungha. Itulah sebab Johnny sama sekali tidak bisa menemuinya.
Hari ini ia juga dengar kalau Sejeong kurang enak badan dan belum makan malam. Dalam batinnya berkata, bisakah perempuan itu sehari saja tidak membuatnya khawatir?
"John? Terjadi sesuatu?
Johnny mendongak. Wendy duduk di kursi di hadapannya, menopang dagu dengan satu tangan bertumpu pada meja kerja itu dan menatap Johnny khawatir. Apa wajah khawatirnya terlalu kelihatan sampai-sampai Wendy menghampirinya?
"I'm okay.."
"Some people say okay to cover up their feeling, Suh. So, you can tell me how you feel and maybe I can help you with some words!"
Wendy bersungguh-sungguh, bukan berarti ia ingin mencampuri urusan orang lain. Sebagai teman, ia juga bisa mendengarkan jika temannya punya masalah. Terkadang orang-orang juga perlu untuk sekadar didengarkan.
"Mark told me too that you are not okay, but he scared to ask! Kami khawatir, maka dari itu kami juga tidak masalah kalau kau cerita!"
Johnny tidak berniat untuk menyahutinya, ia masih kukuh pada pendiriannya kalau ia sanggup mengatasi masalah ini sendirian. Lagian ini masalah tentang hubungannya, tidak seharusnya ia menceritakan ke semua orang.
Wendy menatap lamat ke arah Johnny, mengangguk pelan tanda paham. "It's okay if you don't want to share."
"I'm sorry, nuna.."
"Itu bukan hal yang membuatmu harus meminta maaf.."
Johnny melirik jam tangannya, lalu memeriksa ponselnya saat pop up pemberitahuan membuat layarnya menyala. Ia harus pergi sekarang untuk menjenguk perempuannya di apartemen.
"Nuna, aku pergi lebih dulu, ya? Ada yang harus aku lakukan."
"Mm! I hope you can finish your problem!"
Lelaki itu tersenyum sekilas, menenteng tas di punggungnya lalu berpamitan pada Wendy. Tidak lupa ia berpamitan pada yang lain sebelum meninggalkan ruang pengajar. Beruntung jam mengajarnya sudah selesai lebih awal.
Seperti kata Ten, ia dan Sejeong sedang dalam perjalanan ke apartemen.
Johnny sungguh menuruti ucapan Sejeong untuk memberikan perempuan itu waktu. Yang bisa ia lakukan hanya mengawasi apartemen perempuan itu setiap pulang kerja, atau melewati tempat kerjanya dan menunggu di luar. Ten yang membantunya memberikan beberapa kabar tentang Sejeong.
Seperti biasa ia naik bus untuk menuju ke sana, sengaja demi menghemat biaya transportasi sebab uang miliknya akan ia pakai membeli makanan dan obat. Entah nanti ia berani masuk ke sana atau berakhir menitipkannya kepada petugas resepsionis apartemen, setidaknya Johnny harus berjaga-jaga, kan?
Ia mendapat pesan lagi dari Ten, mereka sudah sampai di sana dan lelaki itu meninggalkan Sejeong. Perempuan itu memaksa Ten untuk pergi dan mengancam akan mematahkan lehernya jika tidak mau menurut.
Sekarang Johnny benar-benar sudah berdiri di depan apartemen itu. Dengan udara dingin di luar ia memasukkan sebelah tangannya yang bebas ke dalam saku jaket tebalnya. Hanya itu yang ia kenakan demi menghangatkan tubuhnya. Berulang kali lelaki itu mondar-mandir di depan apartemen namun akhirnya ia urung, memilih berdiri di sudut pintu masuk dan berpikir.
Ia ragu untuk masuk. Ia takut Sejeong akan semakin membencinya jika ia menampakkan diri di hadapan perempuan itu.
Sekali lagi Johnny menatap pintu masuk apartemen itu dan menerawang jauh ke sana. Udara dingin seolah menusuk kulitnya yang sudah dilapisi jaket tebal dan syal. Ia ingin masuk dan kerinduannya terhadap perempuan itu sungguh besar.
Apa yang dilakukannya sekarang?
Pikirannya terus berkutat, lebih takut Sejeong jadi benci padanya di banding melepas rindu. Sudah dua minggu ia tidak bertemu dan menghubungi perempuan itu, Sejeong sekali pun tidak menghubunginya. Apa Sejeong ingin mengakhiri hubungan mereka dengan cara seperti ini?
Ia mengusap-usap tangannya, meniupnya berharap mendapat kehangatan. Ia tidak menyangka jika musim dingin bisa sedingin ini. Biasanya ia tahan dengan semua.
Pada akhirnya Johnny masuk, hanya sampai pada petugas resepsionis dan menitipkan makanan beserta obat itu pada mereka. Ia meminta sebuah kertas untuk menuliskan pesan singkat kemudian pergi.
Ia yakin langkahnya belum begitu jauh dari sama sampai ponsel dalam saku jaketnya bergetar. Segera ia merogoh sakunya itu dengan susah payah, kemudian kedua matanya terbelalak dengan sempurna setelah membaca nama yang muncul pada layar.
***
Sejeong sebenarnya tidak berniat untuk pulang ke apartemennya sekarang. Sudah berapa lama ia tidak pulang?
Entahlah.
Sekarang ia malas bersih-bersih, kepalanya pusing, dan bodohnya lagi ia tidak meminta tolong Ten untuk membelikannya makanan-dan lelaki itu lupa untuk membelikannya. Ia menyesal sudah mengusir Ten dan mengancam akan mematahkan lehernya.
Sekarang Sejeong harus apa? Mau masuk ke kamar juga ia enggan, tidur di sofa sudah pasti makin menyiksa tubuhnya, atau keluar lagi sekarang untuk ke tempat Chungha juga akan semakin memperburuk kondisinya.
Saat ia sedang memikirkan itu semua, dering telepon di apartemennya berbunyi. Keningnya mengernyit, cepat-cepat Sejeong menghampiri telepon itu dan mengangkatnya.
"Nona Kim Sejeong?"
Satu alisnya terangkat, ini siapa?
"Saya petugas resepsionis.."
"Ah.." Sejeong mengangguk tanpa sadar, perhatiannya tertuju pada pemandangan langit yang terlihat dari jendela apartemennya. "Ada apa?"
"Ada yang menitipkan makanan untuk anda. Dia tidak menyebutkan namanya tapi saya mengenali wajahnya. Pria itu sering datang bersama anda."
"Pria?" Satu alisnya terangkat. "Menitipkan makanan?"
"Iya. Sejak tadi orang itu seperti mau masuk ke dalam, tapi kemudian menunggu di luar. Petugas keamanan sudah menyuruhnya masuk tapi dia tidak mau. Terakhir dia menitipkan makanan untuk anda."
Sejeong menghela napasnya dan memijat keningnya pusing. Petugas itu tidak perlu menyebut namanya dan Sejeong sudah paham siapa yang datang. Mengapa ia tidak memilih langsung masuk saja?
"Terima kasih.. Saya akan ke bawah sekarang."
Sejeong meletakkan gagang telepon yang menandakan panggilan telah berakhir. Ia kembali menghela napas dan segera keluar dari unit apartemennya. Tidak perlu waktu lama ia sudah sampai di resepsionis dan menerima makanan yang dititipkan untuknya. Ada sebuah pesan yang terselip dalam plastik makanan itu.
---
Makanannya sudah dingin jadi kau bisa memanaskannya dulu. Jangan telat makan lagi, Sejeong. Jangan memaksakan diri dan banyak-banyaklah istirahat! Segera minum obatnya.
Aku merindukanmu..
---
Perhatiannya tertuju pada petugas resepsionis yang ada di sana, kemudian berkata, "Apa dia sudah lama pergi?"
"Belum lama, Nona. Tadi dia sempat menunggu sebentar."
Sejeong cepat-cepat merogoh ponsel dalam saku jaket yang masih ia kenakan sambil ia berjalan keluar apartemen untuk mencari keberadaan orang itu. Butuh waktu cukup lama untuk panggilan itu tersambung.
"Sejeong?"
"Dimana-"
Tidak jauh dari tempatnya berdiri sekarang Sejeong melihat lelaki itu berdiri dengan tubuh menggigilnya. Lelaki itu kemudian berbalik dan melihat ke arahnya. Seketika itu keduanya mematung.
Sejeong memutuskan panggilannya dan melangkah ke arah lelaki itu sementara ia terdiam dengan ponsel yang masih menempel pada telinganya. Terlalu terkejut melihat Sejeong mendatanginya.
"Kau sedang apa, eoh?!"
Sejeong membentaknya. Seo Johnny yang masih berdiri mematung kini tersadar kemudian menyimpan ponselnya dalam saku jaket.
"Kenapa kau keluar-"
"Kau sedang apa?!"
Johnny menunduk dan tersenyum samar. "Aku mengkhawatirkanmu.."
Sejeong menahan napasnya, ia tidak pernah merasakan sesesak ini melihat wajah murung Johnny. Lelaki itu sering berwajah murung, sedih dan putus asa soal mereka, tapi ia tidak pernah ikut merasa benar-benar sedih melihatnya demikian. Ini yang paling parah diantara yang sebelumnya.
"Kenapa hanya menitipkannya?"
Lelaki itu mendongak, masih mempertahankan senyumannya. Dengan canggung ia menggaruk belakang kepalanya. "Aku pikir kau tidak mau melihatku..?"
Sejeong terdiam. Benar juga! Ia yang tidak memperbolehkan Johnny untuk dekat-dekat dengannya dulu. Tapi begitu tahu Johnny datang dan justru tidak langsung menemuinya itu seperti melukai dirinya sendiri.
Sementara Johnny sedang susah payah menahan dirinya untuk tidak memeluk Sejeong yang sangat dirindukannya. Ia hanya bisa tersenyum dan merasa lega melihat perempuan itu baik-baik saja.
Iya, Sejeong baik-baik saja.
Seketika itu Johnny memikirkan banyak hal dalam kepalanya, sambil menatap lurus ke arah mata Sejeong. Ia memperhatikan setiap sisi wajah perempuan itu dalam diam.
Sejeong kemarin banyak menangis, merasa sedih harus kehilangan lelaki yang dicintainya. Menghilang selama dua minggu masih membuat perempuan itu baik-baik saja, bukankah itu berarti Johnny bukanlah apa-apa dibanding dengannya?
Kenyataan itu semakin membuat Johnny terpuruk. Mungkin saja Johnny tidak pernah ada dalam rasa kekhawatiran perempuan itu, sementara ia mengkhawatirkan Sejeong dengan begitu besar.
Baru kali ini Johnny sungguh merasa seluruh pengorbanan yang ia lakukan pada Sejeong merupakan hal yang sia-sia. Ketulusannya tidak sepenuhnya sampai pada perempuan itu. Apa mungkin juga karena ia masih memaksa Sejeong terlalu keras?
Iya pasti ini! Rasanya ia sudah jadi lelaki paling buruk untuk Sejeong.
Ia menarik napas dalam sambil sedikit menengadah menahan sesuatu yang mendesak keluar dari pelupuk matanya. Kemudian ia melepas syal yang melilit lehernya, maju satu langkah supaya bisa menggapai Sejeong lalu melilitkan syal itu pada leher perempuan tersebut.
"Sekalipun keluar sebentar, jangan lupa pakai pakaian yang hangat. Kau sedang sakit, kau harus bisa menjaga dirimu Sejeong.."
Alis perempuan itu terangkat sebelah, menatap bingung lelaki yang ada di hadapannya. Susah payah ia mendongak, namun wajah kelam itu semakin terlihat dari ekspresi wajah Johnny.
"Sekarang masuklah!" ucapnya setelah ia memundurkan tubuhnya, kemudian menutup kepalanya dengan tudung jaket yang ia kenakan. "Udaranya semakin dingin! Cepat makan malam dan minum obat, lalu istirahat."
"Kau langsung pulang?"
Johnny terdiam, memberikan senyum tipisnya lalu memutar tubuh Sejeong. Ia mendorong perempuan itu pelan untuk masuk ke apartemennya tanpa banyak bicara. Sementara Sejeong kebingungan jika melihat Johnny yang tidak banyak bicara.
"Sudah masuk sana." usir Johnny dengan gestur tangannya menyuruh Sejeong masuk.
Sejeong merasa enggan untuk menuruti ucapan Johnny. Tubuhnya seolah ingin ia menunggu sejenak, menyuruhnya menatap lelaki itu lebih lama, ada perasaan berkecamuk dalam dadanya saat melihat lelaki itu saat ini. Tangannya mencengkeram erat wadah plastik dalam genggamannya.
"Kau tidak ingin mengatakan apapun?" ucap Sejeong asal sambil menatap Johnny dengan kedua mata yang bergetar. Sama halnya dengan lelaki itu. Susah payah ia memalingkan muka supaya tidak bertemu pandang dengannya.
"Masuklah, Sejeong.."
Bukan itu yang mau didengarnya. Sejeong ingin Johnny mengatakan hal yang ia tuliskan pada kalimat terakhir di dalam surat. Mengapa laki-laki itu tidak mau menatapnya? Mengapa ia memberikan ekspresi demikian?
Astaga ada apa dengan Sejeong?
"Kalau begiu aku yang pergi."
Tangannya spontan terulur namun tak sampai untuk meraih Johnny yang sudah berjalan menjauhinya. Lelaki itu sungguh pergi dan tidak mau menunggunya. Bahkan tersenyum pada Sejeong seperti biasanya juga tidak.
Sejeong sudah membuat kesalahan. Apa Johnny akhirnya lelah menghadapinya?
Sementara lelaki itu mengambil langkah lebar-lebar supaya Sejeong tidak mengejarnya-walaupun ia yakin perempuan itu tidak akan melakukannya. Perasaannya terluka, Johnny tidak bisa menjauhi perempuan itu namun ada sisi dalam dirinya yang menyuruh untuk pergi.
Seolah perasaan menyerah sedang memenuhi hatinya.
***
Tepat pukul 7 pagi Doyoung sudah menunggu di dalam mobil, terparkir di sisi penampang jalan dekat apartemen tempat Sejeong tinggal. Berkali-kali ia menelepon nomor perempuan itu namun panggilannya selalu dialihkan. Ia juga mengirim banyak sekali pesan namun tidak lama nomornya di blokir.
Tidak ada pilihan lain.
Doyoung sudah menyiapkan dirinya untuk hari ini dan ia benar-benar akan memaksa Sejeong untuk pergi sekarang.
Tapi pada akhirnya setelah lelaki itu berdiri di depan pintu unit apartemen Sejeong, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Doyoung bisa saja mengetuk pintunya dengan keras sampai Sejeong merasa risih, namun bukan itu tujuannya.
Memang ia mengajaknya dengan paksaan, tapi bukan sampai memaksa yang demikian. Ia ingin mengajak Sejeong secara baik-baik.
"Kim Sejeong, kau bisa dengar aku?" ucapnya sedikit keras, ia mulai mengetuk pintunya dengan santai. "Setidaknya aku ingin bicara denganmu! Bisakah kau buka pintunya?"
Tidak ada sahutan, Doyoung tidak bisa menyerah sampai di sini.
Baru saja ia hendak mengetuk pintunya sekali lagi, kemudian pintu itu terbuka dan menampilkan Sejeong yang mengintip dari balik sana. Perempuan itu menatapnya tidak suka.
"Aku sudah bilang kalau tidak mau pergi, kan?"
"Kau pasti akan pergi kalau mendengar ucapanku."
"Mana ada!"
Pintu itu baru saja hendak menutup begitu Doyoung menahannya dengan kuat. Kali ini ia menatap Sejeong memohon.
"Satu menit." ucap Sejeong kemudian. Ia menghela napasnya. "Kau bisa jelaskan tapi cuma satu menit."
Posisi mereka tidak berubah. Kemungkinan Sejeong benar-benar akan menendangnya begitu Doyoung selesai menjelaskan. Lelaki itu tidak akan membuang kesempatan satu menit itu.
"Kau ingat album foto yang kau berikan padaku?"
"Album?"
"Hadiah ulang tahun 10 tahun lalu! Sebelum kau berangkat ke Seoul!"
Sejeong terdiam. Album foto yang ia hias sedemikian rupa sebelum memberikannya pada Doyoung. Ia ingat kalau dalam album itu berisi semua foto tentang mereka dan ia berikan pada Doyoung sebagai kenang-kenangan.
"Di halaman terakhir, itu foto waktu kita di pantai!" Doyoung menarik napasnya dalam dan tersenyum lebar. "Kau.. Ingin datang ke sana sekali lagi denganku? Bukankah kau janji mau pergi ke sana begitu kita bertemu? Itu yang kau tulis di halaman terakhir albumnya!"
Sejeong menatap Doyoung perlahan. Dari kedua matanya tergambar berbagai macam emosi yang lebih didominasi dengan kekesalannya. Mengapa Doyoung mengungkit itu? Mengapa ia memakai itu sebagai alasan? Memangnya dengan keadaan mereka yang seperti ini, janji itu masih berlaku?
"Sejeong.. Kau mau keluar bersamaku sebentar?"
***
Disinilah mereka sekarang. Menempuh perjalanan 4 jam dengan mobil yang dikendarai Doyoung cukup cepat. Lelaki itu tidak mau membuang waktunya begitu akhirnya Sejeong setuju untuk pergi bersamanya.
Sejeong pasti paham tujuannya dan Doyoung tidak akan membahasnya. Yang akan mereka lakukan di sana setelah ini hanya perlu menikmatinya.
Sementara perempuan itu hanya memalingkan wajahnya menatap keluar jendela mobil, dengan kedua telinga yang tersumpal headset sebagai pengalih perhatian agar tidak terlibat sebuah konversasi dengan Doyoung.
Ia tidak mau bicara. Ia juga tidak perlu untuk mendengar lelaki itu bicara. Semakin banyak penjelasan yang akan di dengarnya maka Sejeong benar-benar akan membenci Doyoung saat itu juga. Ini bukanlah inginnya.
Mereka sampai di Yeosu, tepatnya di daerah Ungcheon di mana kampung halaman mereka berasal sekitar pukul 12 siang. Sudah masuk waktunya makan siang dan Doyoung mengajak Sejeong ke salah satu kedai naengmyeon dekat rumah mereka dulu.
Keduanya turun dari mobil, memperhatikan kedai itu yang berupa rumah sederhana bercat biru dan ada tanda nama bertuliskan 'Shin Myeon' sebagai nama kedai itu.
"Kira-kira Bibi Shin yang masih menjual ini atau yang lain, ya?" ucap Doyoung setelah berdiri di samping Sejeong. Lelaki itu menoleh ke arahnya dan tersenyum. "Aku paling ingin ke sini bersamamu!"
Sejeong tidak menatapnya atau memberi respon. Ia hanya akan mengikuti semua alur yang dilalui Doyoung untuk mereka di Yeosu saat ini.
"Bibi Shin?"
Seorang wanita tua menoleh. Keningnya berkerut dalam memperhatikan Doyoung dan Sejeong secara bergantian.
"Saya Doyoung! Bibi lupa?"
Seperti itulah kemudian. Wanita tua pemilik kedai mie dingin itu mengingat mereka, secara khusus menyambut dan menyediakan hidangan terbaik mereka untuk saat itu. Aroma lautan dan bau kaldu untuk kuah mie dingin itu berhasil menggugah selera makan mereka.
Aroma yang tidak asing tentu saja.
"Kalian dulu selalu bertengkar berebut semangkuk kuah bonus! Astaga, sekarang kalian sudah dewasa.."
Bibi Shin berucap demikian sambil mengingat Doyoung dan Sejeong sebagai dua anak bandel yang datang ke kedainya untuk makan dengan rusuh. Tapi itu cukup berkesan baginya melihat dua anak SMA yang tersenyum bahagia memakan makanan buatannya.
"Jadi kalian sekarang? Apa kalian suami-istri?"
"Uhuk-"
Sejeong tersedak kuah naengmyeon dan cepat-cepat Doyoung memberikannya minuman. Sementara Sejeong sibuk meredakan batuknya akibat tersedak, Doyoung yang menanggapi pertanyaan Bibi Shin soal mereka.
"Kami masih sama, berteman baik."
"Benarkah? Sayang sekali padahal aku pikir kalian cocok sejak dulu.."
"Semua bisa berubah saat dewasa, Bi.."
"Kau benar, Nak.. Sudah-sudah! Silahkan dinikmati makan siangnya!"
Mereka selesai makan siang, lagi-lagi hanya Doyoung yang bicara dan Sejeong mendengarkan. Ekspresi perempuan itu masih sama, bahkan tadi hanya tersenyum pada Bibi Shin sebelum berpamitan.
Tujuan mereka selanjutnya adalah SD Ungcheon yang tidak jauh dari tempat mereka juga. Perjalanan nostalgia hari ini benar-benar berjalan mudah sebab memang mereka tidak banyak pergi keluar saat masih muda. Sejeong yang tidak mendapat izin pergi jauh-jauh dari Ungcheon oleh ayahnya membuat ia dan Doyoung juga hanya bermain di sekitar sana.
Karena masih masuk masa liburan musim dingin, sekolah mereka sepi dan tertutup. Tidak ada yang berjaga di sana dan karena pagarnya yang tidak begitu tinggi membuat mereka bisa melihat bangunan itu.
Bangunannya masih sama hanya ada beberapa perubahan seperti sebuah bangunan baru di sisi kanannya, lalu pepohonan dan taman, juga warna dinding yang berbeda.
"Dulu kita bertemu di sini. Ibumu dan Ibuku saling kenal lalu kemudian kita berteman." Perhatian Doyoung tertuju pada sebuah pohon di belakang gedung petugas keamanan. Tanpa sadar ia tertawa. "Sejeong, pohon itu masih ada!"
Sejeong spontan menoleh dan melihat pohon besar di belakang gedung petugas keamanan. Senyuman kecil terukir di wajahnya.
"Kau sering tidur di atas pohon untuk membolos."
Masa-masa SD memang masa ternakal Sejeong karena ia yang tidak bisa diam. Doyoung bahkan bercerita soal dirinya yang sering diganggu oleh Sejeong sendiri sampai lelaki itu menangis, setelahnya mereka juga sering bertengkar karena saling balas mengganggu.
Kalau diingat-ingat itu sangat lucu!
Selanjutnya mereka pergi ke SMP mereka, kali ini mereka hanya mampir sebentar. Waktu SMP mereka berada di kelas yang berbeda. Hanya sedikit kenangan yang bisa mereka ingat. Justru saat SMP ini, jalanan di sekitar mereka lebih banyak menyimpan kenangan. Sayangnya masih musim dingin, jadi keduanya hanya bisa memperhatikan jalanan itu dari dalam mobil yang melaju amat lambat.
Terakhir sampai di gedung SMA mereka. Disinilah akhirnya mereka, kembali memasuki masa saat perasaan mengalahkan keduanya.
Beruntung ada petugas yang berjaga di sana dan keduanya bisa masuk dengan batas waktu tertentu. Langit juga mulai berbuah warna, sudah hampir melewati waktu senja.
Dari mulai menginjakkan kaki di depan gerbang itu saja banyak sekali sekelebat kenangan yang berputar dalam kepala mereka. Kali ini Doyoung tidak banyak bicara, bahkan ia benar-benar diam sekarang.
Melangkahkan kaki dengan lambat masuk melewati gerbang itu, dalam kepala mereka seolah memutarkan sebuah film dengan adegan yang sama di setiap langkah yang mereka ambil. Memandangi setiap sudut sekolah sambil mengingat, apa yang mereka lakukan pada hari itu di sini?
Pintu masuk gedung, mereka pernah menunggu hujan reda. Di lapangan sekolah mereka pernah olahraga bersama, menjadi satu kelompok saat bermain bulu tangkis. Saat lomba lari Doyoung dan Sejeong juga bersaing dan menjahili satu sama lain. Sejeong juga ingat saat bermain voli dan kakinya terkilir, Doyoung yang membawanya ke ruang kesehatan dengan menggendongnya, tapi kemudian Doyoung mengeluhkan berat badan Sejeong.
Di lorong sekolah pun saat mereka masuk, keduanya seolah melihat gambaran saat mereka berlarian berebut satu buah susu pisang. Saling menjahili saat waktu istirahat dan Doyoung sering mengganggu Sejeong saat ingin bersantai menatap keluar jendela. Rasanya 3 tahun SMA mereka sama sekali tidak pernah lepas satu sama lain.
Apalagi saat mereka bisa masuk ke salah satu ruang kelas, sayang sekali kelas yang mereka tempati pintunya terkunci jadi mereka masuk ke ruang kelas lainnya. Meski begitu, hanya dengan seperti ini sudah cukup membuat mereka mengingat-ingat bagaimana mereka saat di kelas.
Doyoung selalu belajar dengan serius, duduk di bangku paling depan sementara Sejeong suka mengambil duduk di belakang, memperhatikan punggung lebar Doyoung dan mengaguminya dalam sketsa tipis yang ia gambar di setiap halaman bukunya. Begitu istirahat Doyoung bisa berkeliling sekolah, tapi Sejeong akan tetap di tempatnya untuk melakukan kegiatan lain. Tapi meski begitu, jantung mereka berdebar saat mengingatnya.
"Ah! Perpustakaannya tutup."
Sejeong melirik Doyoung, kemudian berjinjit untuk melihat ke dalam melalui jendela. Doyoung ikut melakukan hal yang sama. Tatanan perpustakaan di dalam sedikit berbeda, tentu saja. Apa yang bisa mereka harapkan dengan umur 10 tahun?
"Kau juga sering membolos di perpustakaan."
Sejeong tersenyum miring, sepertinya hanya hal-hal jelek yang diingat Doyoung darinya. Tapi karena itu ia mendenguskan tawa pelan, membuat lelaki itu menoleh dan tertegun untuk sejenak.
Akhirnya Sejeong meresponnya.
"Dasar bodoh."
Perempuan itu mundur beberapa langkah, kemudian berbalik untuk pergi ke ruangan lainnya. Doyoung tersenyum senang, lalu menyusul Sejeong dan berjalan di sampingnya.
Di sini terlalu banyak, bahkan sangat banyak sampai mereka tidak bisa untuk mengingat itu satu persatu.
Dan tibalah saat mereka menuju ke tempat terakhir di mana semua berawal dan berakhir.
***
Langkah mereka sangat berat setelah habis makan mie instan di minimarket dekat pantai, menyusuri tepian dengan menikmati hembusan angin yang menerpa mereka. Keduanya saling bungkam menikmati suara ombak dan dinginnya angin yang menusuk kulit mereka. Keduanya sama-sama mempererat jaket yang mereka gunakan.
"Itu dia.."
Doyoung dan Sejeong sama-sama melihat ayunan kayu di dekat ujung barat pantai, mengahadap langsung pada lautan, menyaksikan langit gelap dan bintang gemerlap di ujung perbatasan langit dan lautan. Malam hari jelas gelap, namun cahaya bulan hari ini seperti ingin mendukung mereka untuk bercengkerama.
Keduanya tidak tahu, hanya dengan duduk bersebelahan bisa memberikan sensasi mencekat pada tenggorokan mereka. Dada terasa perih dan sesak. Padahal mereka belum membangun konversasi, belum saling menatap atau sejenis interaksi yang bisa menimbulkan respon.
Mereka takut untuk bicara.
Doyoung berpaling, memilih memperhatikan Sejeong di sisinya yang sedang menatap jauh ke depan. Perempuan itu sama sekali tidak berminat untuk menoleh, ini demi pertahanannya sendiri. Menikmati gelap yang dibencinya dan cahaya bulan lebih menarik bagi Sejeong.
"Sejeong.."
Sejeong bergeming. Ia masih pada pendiriannya untuk tidak menatap Doyoung. Perempuan itu menarik napasnya, lalu mengeluarkannya. Seperti itu terus demi menenangkan debar jantungnya yang sama sekali tak mau berkompromi dengannya. Sesuatu sedang ingin melesak keluar. Beberapa kali ia mengerjap.
"Aku tidak mau mengatakan ini yang terakhir.." desis Doyoung dan menunduk, "tapi rasanya hari ini seperti yang terakhir.."
"Aku sungguh membencimu, Doyoung."
"Aku tahu. Kau bisa membenciku sebesar apapun-"
"Tapi kalau aku begitu, aku semakin tidak bisa melupakanmu.."
Doyoung tersenyum. Rasanya semakin sesak sampai ia harus mengambil napas sebanyak mungkin. Pasokan oksigen dalam paru-parunya menipis.
"Tempat ini punya arti besar untuk kita.."
"Dan kau memakai visualisasi tempat ini untuk pernikahanmu."
"Aku minta maaf.."
"Tidak perlu, aku hanya sekadar berkata."
Keduanya kembali mengingat segala momen yang terjadi di tempat ini. Mereka suka menghabiskan waktu senja di sana, berlarian bermain pasir pantai dan saling mencipratkan air pantai dan berakhir pulang basah kuyup, berkejar-kejaran, atau memilih duduk berdua di ayunan ini dengan membagikan sumpah serapah.
"Padahal tempat ini juga jadi saksi pertama saat aku tanpa sengaja mengaku, tapi justru hari aku memutuskan hubungan yang paling membekas."
Sejeong menyetujuinya dalam hati. Mereka bukan hanya satu dua kali datang ke pantai ini dan banyak sekali yang mereka lakukan, termasuk kenangan baik yang lebih pantas untuk diingat. Namun tetap saja hari saat mereka mengakhiri hubungan adalah yang paling membekas dalam ingatan mereka.
"Kau pernah berandai tidak, Sejeong?" Doyoung menatap lurus ke depan. "Seperti aku pernah berandai kau menjadi mempelai wanitaku?"
"Aku tidak bisa mendengarmu berkata seperti itu, terlalu menggelikan."
Doyoung tertawa pelan dan menoleh, "Bagaimana? Apa kau pernah?"
Sejeong memilih bungkam, rasa-rasanya tidak perlu untuk menjawabnya. Biarkan saja perandaian itu ia simpan sendiri.
"Harusnya aku tidak perlu terlalu menikmati ini. Kita datang ke sini hanya untuk memenuhi keegoisanmu saja." ucap Sejeong dengan mendenguskan tawa masam. "Setelah kita kembali, mungkin hanya kau yang merasa lega. Kau mengajakku ke sini untuk melepaskan kenangan, sementara aku justru semakin mengingatnya."
Doyoung mendengus kecil dan menunduk. Ia kembali memalingkan kepala setelah mendengar Sejeong berkata demikian, "Aku tidak bermaksud begitu.."
Mereka kembali bungkam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Dalam kepala mereka berputar adegan yang sama sementara melihat pantai di depan sana. Sejeong mengeratkan jaketnya, memasukkan kedua tangannya dalam saku. Napas mereka sama-sama mengepul, tapi mereka lebih suka untuk menyiksa diri dengan suhu dingin. Kalau saja suhu dingin bisa membekukan perasaan mereka.
Sejeong sedikit menengadahkan kepala, menahan air matanya yang lagi-lagi mendesak untuk keluar. Ia selalu lemah jika memikirkan hari-harinya bersama Doyoung.
"Sejeong.." Doyoung memanggilnya lirih tanpa memalingkan wajah, "Aku minta maaf.. Coba saja hari itu aku memberitahumu dengan lebih benar, bukan sebagai pacar, tapi sebagai sahabat. Melihatmu membungkuk pada mereka tapi mereka mengabaikanmu membuat rasa bersalahku semakin besar."
"Itu sudah berlalu, Doyoung.. Kau tidak perlu menyesalinya terus." Sejeong berucap pelan dan menunduk, memperhatikan kakinya yang berayun pelan sambil memainkan pasir pantai. "Rasanya memalukan kalau mengingatnya..."
"Maaf dengan membuatmu terluka terlalu dalam.."
Sejeong bergeming.
"Maaf dengan terus berjalan menjauh dan tidak berbalik.."
Kali ini Sejeong memalingkan sedikit wajahnya berlawanan arah.
"Maaf kalau selama ini aku tidak pernah memahamimu.."
Pertahanannya perlahan runtuh. Sejeong menarik napasnya dalam dan mengembuskannya secara kasar.
"Maaf dengan menjadi orang pertama yang harus berkata selamat tinggal.."
Suara isakan kemudian terdengar. Sejeong tidak bisa menyembunyikan perasaannya lagi. Ini terlalu menyesakkan.
"Aku minta maaf karena menjadi pengecut dan tidak berani untuk meraihmu lagi.."
Kali ini Doyoung memilih untuk bangkit, berlutut di depan Sejeong lalu meraih wajah perempuan itu. Ia membuat Sejeong untuk melihatnya, mengusap lembut air mata perempuan itu yang sedang menangis penuh sesak.
"Kau telalu banyak terluka karenaku.. Jadi, aku harap kau bisa bersama seseorang yang tulus menyayangimu, Sejeong.."
Sejeong sampai menunduk dalam, suara isakannya semakin keras dan menyesakkan. Doyoung menggenggam tangannya, membiarkan Sejeong mencengkeramnya erat bersamaan dengan ia yang melampiaskan perasaannya.
"Aku tidak mau mengulangi kesalahanku yang dulu meninggalkanmu. Aku tidak bisa menebus rasa bersalah ini kalau memaksa bersamamu. Bisakah kau memaafkanku?"
Sejeong hanya mengangguk sebagai jawaban dan Doyoung tersenyum lega. Perlahan Sejeong bisa melepaskan Doyoung, sama seperti waktu-waktu ia tidak bersama lelaki itu. Kenyataan bahwa sebenarnya ia lebih merasa sakit jika harus mencintai lelaki itu sehingga membuatnya tidak berani untuk berjuang. Hubungan yang berputar di antara mereka berempat sudah dikatakan tidak baik, dan Sejeong semakin merasa buruk jika ia akhirnya memilih bersama Doyoung.
"Musim semi akan segera datang, sayang sekali kita tidak bisa menyaksikan pantai ini di musim yang kita sukai." Doyoung mengusap punggung tangan Sejeong lembut dan tersenyum. "Berbahagialah, Sejeong.."
"Iya.."
"Bagaimana menurutmu musim kali ini?"
"Membahagiakan karena aku akan melihatmu bahagia."
Doyoung memeluk Sejeong erat, keduanya sama-sama memejamkan mata. Punggung mereka sama-sama bergetar dan air mata kembali tumpah untuk terakhir kalinya. Ini tangisan bahagia sementara seluruh beban yang mencekat mereka akhirnya benar-benar terbang bebas di udara. Sejeong menghirup aroma tubuh itu dalam, membuatnya mabuk untuk sejenak. Ia merelakan Doyoung, perlahan namun kali ini tekadnya semakin kuat.
Ia pasti akan merindukan sahabat baiknya ini.
---
Pada musim dimana bunga layu tertiup angin
Aku masih bisa merasakan sentuhan tanganmu
Pada saat itu, aku tidak dapat memahaminya secara dalam
Walaupun begitu, bunganya tetap indah
Aku pikir itu akan bertahan selamanya
Setelahnya hari semakin berlalu
Termasuk aku yang kemudian melewatkan sosokmu
***
To be Continue
Bạn đang đọc truyện trên: TruyenHHH.com