TruyenHHH.com

1 20 Twenty Spring

"Kalau saja mempertahankan kepercayaan semudah itu, mungkin aku tidak akan ketakutan kalau-kalau kau mengingkari janji pada hubungan ini."

***


"Sakit?"

Ten dengan kasar menempelkan telapak tangannya pada kening Sejeong sambil mengerutkan alis. Sejeong spontan menepis keras tangan lelaki itu dan memberikannya tatapan tajam.

"Kau mengejekku?" Ten hanya menghela napasnya dan kembali ke mejanya.

"Sejak tadi kau tersenyum sendiri seperti orang gila. Ah, tidak-tidak. Kau akhir-akhir ini seperti itu, Sejeong."

"Aku begitu?"

"Mm!! Lihat! Kau itu seperti ini!" Sejeong menggeser kursinya agar bisa melihat apa yang dilakukan Ten. Lelaki itu memperagakan bagaimana Sejeong yang dia lihat barusan. Melipat kedua tangannya, tersenyum malu dan bergeliat tidak jelas di tempat duduknya. Sejeong bergidik ngeri sambil dirinya melempar sebuah buku ke wajah lelaki itu.

"Berlebihan!"

"Kau seperti itu tadi!"

"Menjijikkan!"

"Itu kata-kata yang sejak lama ingin aku katakan!!"

Sekali lagi Sejeong berdecak dan menggeser kursinya kembali ketempatnya semula, melanjutkan pekerjaan yang sempat terjeda.

Dalam dirinya berpikir, apa benar ia tersenyum secara tidak sadar seperti yang Ten tunjukkan? Ia melirik pada sudut mejanya di mana terdapat sebuah bingkisan kecil disana. Tanpa ia sadari sekali lagi, lengkungan bibirnya naik ke atas membentuk sebuah senyuman kecil sampai suara kamera membuyarkan fantasinya.

"Eoh? Kameraku bunyi?" Sejeong mendongak dan menunjukkan kemurkaannya. Perempuan itu berdiri dan mengejar Ten yang berlari lebih dulu. Tanpa memedulikan yang lain, mereka saling mengejar di ruang kantor tersebut.

"KIM SEJEONG! TEN! JANGAN MEMBUAT KERIBUTAN!!!"

Keduanya spontan berhenti saat mendengar teriakan Taeyong yang begitu keras. Dengan langkah perlahan keduanya kembali ke tempat mereka masing-masing.

Namun bukan Ten namanya kalau ia belum berhasil mendapat jawaban atas kegilaan sesaat yang terjadi pada Sejeong. Lelaki itu menggeser kursinya mendekati Sejeong yang berusaha fokus pada pekerjaan.

"Apa yang membuatmu tersenyum sendiri, eoh?"

"Kau tidak perlu tahu." Sejeong berusaha mengabaikan Ten dengan fokus pada layar komputer di hadapannya. Spontan lelaki itu menekan tombol power pada monitor komputer tersebut. Komputer itu mati dan sebelum kemurkaan Sejeong muncul, Ten dengan cepat memegang kuat kedua lengan perempuan itu agar tidak mengamuk.

"Kau tenang!! Pekerjaanmu tidak akan hilang!"

"Kau ada masalah hidup apa, eoh?! Heol! Bagaimana bisa Joy berkencan dengan pria sepertimu!"

"Hei! Kenapa kau jadi membawa nama Joy!?"

"Joy teman dekatku juga dan kau pria yang menyebalkan. Bisakah kau membiarkan hidupku tenang?" Ten mencibir, menirukan gaya bicara Sejeong dengan sedikit mengejek. Jika saja tadi ia tidak ditegur, mungkin ia sudah menyeret Ten ke jalan raya dan menyuruh sebuah truk melindas habis tubuhnya.

"Itu apa?" Ten menunjuk bingkisan di sudut meja kerja Sejeong. Wajahnya penasaran sambil beberapa kali mencuri pandang ke arah sana.

"Cake. Kenapa?"

"Untuk Doyoung?" Sejeong membelalakkan matanya terkejut, namun tanpa sadar bibirnya melengkung melawan gravitasi. Ten memicingkan mata. "Kena kau."

Perempuan itu menggeleng kuat dan menatap tajam ke arah Ten. Ia mendorong kuat kursi lelaki itu agar menyingkir dari areanya.

"Ingatlah, kau sudah memiliki kekasih dan Doyoung sudah bertunangan."

Sejeong menatap sebal ke arah Ten yang memilih untuk tidak peduli lagi dan melanjutkan pekerjaannya. Kalimat yang Ten ucapkan sudah lebih dari cukup untuk menamparnya. Dengan perasaan sedikit hampa ia menatap bingkisan itu dan menghela napas.

"Apa yang kau lakukan, Kim Sejeong?"

***

"Hari ini saya akhiri." Semua pelajar di hadapannya spontan membereskan perlengkapan mereka dan keluar dari ruang kelas itu satu persatu. Sambil menunggu murid-muridnya keluar, lelaki itu tersenyum tipis dan membereskan bukunya.

Waktunya terasa menyenangkan. Sudah berjalan hampir dua minggu dan Johnny masih merasa ini adalah pekerjaan terbaik yang pernah dijalaninya. Seterusnya ia harus mempertahankan kinerjanya untuk mendapatkan promosi. Terutama Johnny masih ingin bisa mengajar sebagai dosen di suatu universitas. Barangkali nanti tabungannya cukup untuk dia mengambil program pengajar yang lebih profesional.

Setelah itu mimpinya akan sempurna. Menjadi dosen di universitas, memiliki reputasi baik, uang berlimpah, dan kemudian ia bisa melamar-

"Johnny?!!" Johnny menoleh saat suara seorang perempuan memanggilnya cukup keras dan menerobos masuk ke dalam kelasnya. Lelaki itu sedikit memicingkan mata sambil membenarkan kacamata yang dipakainya.

"Kau lupa padaku?" Senyuman tipis mengembang di wajah Johnny menyadari siapa perempuan yang berdiri di hadapannya saat ini.

"Wendy nuna, lama tidak berjumpa!" Lelaki itu mengangkat bukunya, berjalan berdampingan bersama Wendy menuju ruang pengajar.

"Sudah berapa lama kau mengajar?"

"Sekitar 2 mingguan?"

"Wah.. Maafkan aku belum sempat menemuimu, John."

Lalu Johnny tertawa. "Tidak apa-apa, nuna. Aku dengar kemarin kau ke Paris menjadi pembicara seminar?"

"Mm.. Pasti orang-orang disini membicarakanku, ya?" Lalu keduanya tertawa pelan. "Apa kau masih ada kelas setelah ini?"

"Jam 8 malam aku ada kelas lagi." Johnny memeriksa jam tangannya sambil mengernyit. "Oh, setengah jam lagi."

"Kau sudah makan malam? Ingin makan malam denganku?"

"Tidak perlu repot-"

"I offer you, John!"

Johnny hanya mengedikkan bahu dan mengikuti Wendy memasuki ruang pengajar. Beberapa orang yang ada disana menyapa mereka. Wendy mengambil tas bekalnya dan mengajak Johnny menuju kafetaria yang berada di lantai atas.

"Apa kau juga mengajar penuh, nuna? Maksudku, karena kau juga dosen di kampus?"

"Mm.. Aku setiap hari mengajar disini. Tapi hanya di jam 7-10 malam." Johnny mengangguk paham dan ikut duduk di seberang perempuan itu. Beberapa orang memperhatikan mereka sambil saling berbisik satu sama lain.

"Kau tidak masalah orang-orang membicarakan kita?" Johnny melihat sekitar. Beberapa orang sedang melihat ke arah mereka.

"Aku baik-baik saja. Nuna sendiri?"

"Tentu saja aku baik-baik saja! Kita hanya makan berdua, eoh?" Wendy tersenyum lebar dan menyodorkan salah satu kota bekal miliknya kepada Johnny. Mereka mulai melahap makanan mereka masing-masing sambil bercerita.

Son Wendy adalah kakak tingkat Johnny saat kuliah. Mereka berada di jurusan yang sama, pula keduanya pernah menjadi DJ radio kampus dan jurusannya selama satu tahun.

Ah, dan satu lagi. Wendy adalah seseorang yang membantu Johnny agar bisa dekat dengan Sejeong. Kalau bukan karena Wendy, Johnny tidak mungkin bisa mengenal Sejeong sekali pun memang ia selalu bertemu perempuan itu. Sejeong mahasiswa aktif di kampus.

Wendy dan Johnny cukup dekat, bahkan sempat ada kabar burung di jurusannya sewaktu kuliah kalau mereka berkencan walaupun setelah itu terbantahkan sebab berita tentang Johnny yang mengejar Sejeong menyebar.

"Bagaimana kabar Sejeong? Sudah lama aku tidak menghubunginya sejak dia kuliah di luar negeri." Mendengar nama kekasihnya disebut, Johnny mengurungkan niatnya untuk menyuapkan makanan ke mulutnya. Ia sempat lupa kalau Wendy ini dekat dengan kekasihnya.

"Dia baik."

Wendy mengernyitkan kening melihat reaksi Johnny. "Biasanya kau antusisas kalau berbicara tentang Sejeong."

"Hanya perasaan nuna saja.."

"Kalian tidak putus, kan?"

"Tidak..." Wendy tertawa pelan melihat wajah cemberut Johnny.

Karena mereka memang dekat dan Johnny sudah menganggap Wendy sebagai kakaknya sendiri, terkadang ia lupa juga dengan tanpa sadar bertingkah sedikit kekanakan di depan perempuan itu.

"Apa dia sibuk?"

"Seperti itulah.. Kau tahu kalau Sejeong selalu punya energi berlebih ketika menyangkut soal pekerjaan."

"Astaga!" Wendy tertawa mendengar penuturan Johnny, merasa setuju. "Kau benar sekali, John! Sepertinya Sejeong tidak akan berubah soal itu."

Pada akhirnya mereka kembali fokus pada makanan masing-masing sambil sesekali diselingi obrolan ringan lainnya.

Sejujurnya bagi Johnny, Wendy sangat cocok dengannya. Dalam artian, perempuan itu selalu memperhatikannya saat ia berbicara, tertawa, bahkan mungkin pada hal-hal kecil sekalipun. Ah, selera humor mereka pun juga sama.

Untuk soal perhatian, siapa yang tidak suka diperhatikan? Bahkan Johnny tidak bisa membantah bahwa ia menyukainya. Bisa dibilang, Wendy pemerhati yang lebih baik dibanding Sejeong kalau soal menghargai lawan bicaranya.

Dia tahu kalau kekasihnya itu memiliki caranya sendiri untuk memberi perhatian, nyatanya memang itu tidak bisa dibandingkan dengan cara Wendy yang memberi perhatian secara langsung.

Tapi tenang saja. Johnny tidak pernah melihat Wendy lebih dari sekadar kakak perempuannya sendiri.

"John?"

"Mm?"

"Besok malam... kau sibuk?"

***

Sejeong menatap jauh ke arah depannya, terpampang jelas pintu ruang departemen manajemen. Beberapa kali ia menghela napas sambil sesekali melirik pada bingkisan yang ada di tangannya.

Dalam hati ia merutuk, apa yang ia lakukan sebenarnya?! Bagaimana bisa sekarang ia berakhir berdiri di depan departemen manajemen dan menunggu Doyoung keluar dari sana untuk memberikan bingkisan itu?

Dia bisa saja masuk sendiri, tapi rasanya ini seperti menyangkut soal harga diri! Tidak-tidak! Sejujurnya dibanding itu, ia lebih takut kalau dicap sebagai seseorang yang tidak tahu diri. Apa mungkin keduanya sama saja?

Kemarin ia berjanji dan memilih untuk mencoba menjauhi Doyoung. Belum lama ia lakukan dan sekarang justru dirinya yang sedang mengejar-ngejar lelaki itu?

Tolong siapapun sadarkan Sejeong sekarang juga!

Entah sudah lewat berapa lama sebab perut perempuan itu juga sama berperang, memberi tanda protes agar Sejeong segera makan siang. Sudah berapa kali pula ia melihat beberapa orang keluar-masuk dari ruangan itu sambil memandangnya dengan tatapan yang aneh. Sejeong harus berulang kali menunduk supaya tidak dikenali dengan jelas oleh mereka. Iya, walaupun percuma saja.

Apa memang jatuh cinta selalu membuat seseorang bertingkah bodoh?

"Eoh? Kim Sejeong? Sedang apa?" Karena ia kenal dengan suara itu, dengan cepat Sejeong menoleh dan tersenyum canggung.

Waktu yang kurang tepat.

"Jeongyeon?" Keduanya saling membungkukkan badan dengan sopan.

Kalau kalian lupa, Sejeong dan Jeongyeon dulu teman satu SMP. Tapi sekarang mereka hanya sebagai rekan kerja dan tidak sedekat dulu. Bahkan hubungan mereka termasuk canggung.

"Mencari Doyoung?" Sejeong mengerjapkan matanya, kemudian mengangguk. Jeongyeon melihat bingkisan yang dibawa Sejeong kemudian tersenyum tipis.

"Doyoung tidak akan keluar."

"Kenapa?!! Apa dia tidak ingin makan-"

"Ada Jisun di dalam. Mereka sedang menikmati makan siang."

Sejeong dengan cepat mengendalikan ekspresinya. Perlahan ia mengembangkan seulas senyum tipis dan menyodorkan bingkisan itu pada Jeongyeon.

"Aku titip saja, ya? Katakan, itu dari Ten."

"Kenapa harus Ten?"

"Tidak ada alasan. Hanya saja, tolong katakan kalau itu dari Ten. Aku pergi dulu."

Perempuan itu segera berbalik dan meninggalkan Jeongyeon yang kebingungan. Dengan langkah cepat Sejeong kembali ke ruangannya dan melanjutkan pekerjaan. Masa bodoh dengan perutnya yang berbunyi, ia lebih merasa malu dengan menghampiri Doyoung di ruangannya.

Pantas saja semua orang menatapnya aneh.

Sejeong mengacak rambutnya frustasi, membiarkan dirinya diperhatikan banyak orang. Benar-benar memalukan!

Sekali lagi ia merutuk untuk dirinya sendiri. Kali ini ia harus mendengarkan nasihat Ten. Walau lelaki itu sering berkata hal yang menyakitkan, nyatanya ucapannya itu bisa dipertanggung jawabkan. Ten memang berbaik hati ingin mengingatkan Sejeong untuk tidak melewati batasannya.

Tapi untuk kesekian kalinya, bukan sebuah rencana 'bagaimana ia bisa menjauhi Doyoung dan melupakannya' yang terlintas dalam kepalanya. Sepertinya memang ia mulai tidak tahu diri karena sekarang ia justru sedang mencari cara, bagaimana ia bisa mendekati Doyoung tanpa menarik perhatian orang banyak.

***

"Kim Doyoung!"

Doyoung dan Jisun menoleh saat seseorang membuka pintu ruang rapat dengan sedikit keras. Jeongyeon masuk dan meletakkan sebuah bingkisan di meja.

"Apa itu?"

"Dari Sejeong."

"Sejeong?!" Doyoung terbelalak. Spontan ia meraih bingkisan itu dan membukanya. Dalam kotak itu terdapat sebuah cheese cake kesukaannya.

"Woah! Sungguh dari Sejeong?"

"Mm! Aku pergi-"

"Lalu dia dimana?"

"Kembali ke ruangannya, mungkin?"

Terdengar suara hantaman pintu yang cukup keras. Jeongyeon pergi meninggalkan Doyoung dan Jisun berdua. Jisun sedikit melirik dalam kotak bingkisan yang ada di pangkuan Doyoung.

"Sejeong eonni membawakanmu apa?"

"Cheese cake!" Doyoung membuka kotak kue yang dibawanya, menampilkan isi dari kotak itu, sebuah cake yang tidak berukuran terlalu besar namun Doyoung sangat menyukainya.

Doyoung lupa dengan siapa ia sekarang, mengabaikan Jisun yang menatapnya tidak suka. Wajah berbinar lelaki itu yang sedang memperhatikan kue pemberian Sejeong membuat Jisun ingin kabur dari sana.

Padahal kehadirannya disini juga sudah susah-susah ia lakukan. Butuh keberanian besar untuk mendatangi Doyoung setelah kemarin ia sedang dalam suasana hati yang buruk.

"Jisun-ah?"

"Mm?" Lamunannya buyar. Di depannya Doyoung sedang menyuapkan sesendok cake ke arahnya. Dengan terpaksa gadis itu menerima suapan dari kekasihnya itu.

Sialan. Bisa-bisanya ia hampir jatuh cinta dengan cake buatan Sejeong yang memang terasa enak.

"Kalau aku meminta izinmu.. Boleh kalau besok aku mengajak Sejeong keluar?"

Sungguh, Jisun ingin memukul kepala Doyoung kalau saja ia tidak bisa menahan emosinya. Ia mencoba untuk menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Setidaknya Doyoung tidak sembunyi-sembunyi atau berbohong seperti terakhir kali.

"Keluar kemana?"

"Entahlah, aku juga bingung sebenarnya." Lalu Doyoung tertawa pelan. "Aku belum pernah memberinya hadiah. Jadi, mungkin aku akan mengajaknya berbelanja? Aku tidak yakin juga karena Sejeong tidak begitu suka jalan-jalan."

Jisun berusaha untuk berpura-pura ikut berpikir bersama Doyoung. Kalau boleh jujur, Jisun merasa enggan membantu kekasihnya itu. Apa pentingnya untuk membalas pemberian Sejeong? Perempuan itu juga punya penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Doyoung mengernyit dalam, masih berusaha berpikir sampai tiba-tiba terlintas sesuatu dalam pikirannya. Sesuatu yang dulu sempat akan ia lakukan bersama Sejeong tapi Doyoung sendiri yang tidak menepatinya.

"Sepertinya memang aku harus mengajaknya belanja." Gadis itu menoleh dan menatap kekasihnya penasaran. Apa kira-kira yang dipikirkan Doyoung sampai berpikir lagi untuk mengajak Sejeong belanja?

"Aku pikir itu bukan pilihan yang tepat. Kenapa oppa ingin mengajaknya belanja lagi?"

"Hanya saja, aku teringat hutang yang belum aku lunasi."

"Kau berhutang?"

"Lebih tepatnya, aku pernah berjanji sesuatu saat dulu. Tapi aku sendiri yang mengingkarinya." Doyoung tersenyum kecil dan mengusap rambut Jisun lembut. Jisun hanya menghela napasnya kemudian.

Mau bagaimana lagi? Dia tidak mungkin melarang Doyoung, kan?

"Aku janji akhir pekan ini akan mengajakmu kencan- tidak-tidak! Ayah dan ibumu masih di Korea, kan? Aku akan mengunjungi mereka!"

Jisun memaksakan seulas senyumnya, membiarkan Doyoung melakukan apa yang dia inginkan untuk kali ini.

***

Johnny tersenyum begitu Sejeong keluar dari gedung itu, berlari-lari kecil ke arahnya sambil ia sedang mengikat rambutnya yang tergerai. Perempuan itu tersenyum pada kekasihnya yang melambaikan tangan ringan.

"Pekerjaanmu sudah selesai?"

"Belum sebenarnya. Hanya, aku tidak ingin lembur di kantor hari ini."

Johnny mengambil tas jinjing yang tersampir di bahu Sejeong, membiarkan dirinya membawa tas itu sambil tangannya yang bebas meraih sebelah tangan perempuan itu untuk digenggamnya.

"Kau tidak perlu membawakannya.."

"Tidak apa-apa.. Aku senang kalau harus membawakan barangmu."

Sejeong tidak banyak membantah lagi, membiarkan lelaki itu melakukan semaunya. Keduanya berjalan beriringan menuju halte yang tidak jauh dari sana.

"Sepertinya suasana hatimu hari ini sedang baik?"

Johnny menoleh, terkekeh pelan menanggapi. "Melihatmu membuat suasana hatiku membaik, Sejeong."

"Ouch.. Menggelikan.." Perempuan itu mengusap bahunya merinding. "Apa mengajar disana menyenangkan?"

"Sangat menyenangkan. Kau mau mampir kapan-kapan?"

"Kalau aku sempat."

Mereka sama-sama tertawa, pula Johnny mengusak gemas poni Sejeong dengan tangannya yang bebas.

Akhir-akhir ini hubungannya dengan Sejeong jauh lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Mereka saling mengabari dengan seperlunya, benar-benar suasana yang berbeda. Mereka sedang mencoba untuk menjalin hubungan yang lebih sehat.

Johnny memutuskan untuk mengajak Sejeong makan malam, late dinner katanya. Keduanya mendatangi salah satu rumah makan yang tidak jauh dari sana. Tempatnya berada di salah satu gedung tinggi, di lantai 10. Mereka duduk di dekat jendela, melihat pemandangan kota Seoul dari atas sana.

"Kau tadi sudah makan?"

Sejeong tersenyum kecil pada Johnny karena ia hanya memesan sepiring steik. "Aku tidak nafsu makan.."

"Kenapa?"

"Hanya malas.. Hehe.." Lalu Sejeong menakupkan tangannya, mengacungkan jari telunjuknya sambil memelas. "Aku janji besok-besok tidak akan malas makan.."

Lelaki itu berdecak, tersenyum kecil menanggapi. "Baiklah.. Aku percaya padamu!"

Jujur saja, Sejeong mulai merasa nyaman begitu mendengar itu dari kekasihnya. Kalau Johnny percaya padanya. Selama ini ia hampir tidak pernah mendengar kalimat itu terucap dengan setulus ini.

Mereka sama-sama menatap keluar sana, di mana gedung-gedung tinggi berkilauan itu menambah kesan indah dari apa yang terlihat. Langit malam yang gelap dan luas juga tak kalah indahnya, memberikan kesan romantis untuk makan malam itu.

Johnny tidak bisa melepas pandangannya dari menatap sosok Sejeong di hadapannya. Senyum perempuan itu tampak meneduhkan, juga tatapannya yang menenangkan. Berbeda dari momen terakhir yang pernah mereka lalui. Suasana ini terasa tidak asing.

"Wah.. Apa sudah masuk awal musim gugur?"

Kali ini Johnny mengikuti arah pandang Sejeong yang menerawang jauh ke luar sana. Menatap setiap dedaunan yang menguning. Ah, ia ingat sekarang. Tentang hari itu.

"Kau benar.."

Kembali ke memori mereka sebelumnya di mana keduanya juga sama-sama sedang duduk berhadapan seperti ini. Menatap keluar jendela rumah makan sambil menikmati pemandangan di luar sana. Emosinya meluap.

Diliriknya Sejeong yang masih tidak lepas menatap lurus ke luar, dengan kedua matanya yang menerawang sambil tersenyum tanpa henti. Johnny jadi ikut tersenyum bersama Sejeong.

Tidak berapa lama pesanan mereka datang. Tidak lupa mereka berucap terima kasih pada pelayan yang sudah mengantarkan makanan mereka.

"Biar aku saja.."

Johnny meraih piring steik milik Sejeong, menawarkan diri untuk memotongkan steik itu karena Sejeong yang memiliki kebiasaan tidak bisa mengurangi suara denting pisau dan garpu yang bergesekan dengan piring setiap makan steik. Itu akan sangat berisik.

"Oh ya, Sejeong.. Kau masih ingat Wendy?"

"Mm.. Ada apa?"

"Aku bertemu dengannya di tempat kursus. Dia terlihat hebat.."

"Benarkah? Woah.. Aku ingin bertemu eonni juga!"

Johnny tersenyum tipis, mengembalikan makanan milik Sejeong setelah ia memotongkan steiknya. "Kau tinggal menikmati makanannya!"

"Terima kasih, oppa.."

Mereka menikmati makanan masing-masing, diiringi alunan musik klasik yang mengalun pelan. Sejeong menggigit garpunya sambil menatap Johnny yang hanya fokus pada makanannya.

"Oppa sebenarnya.." Lelaki itu mendongak, menaikkan sebelah alisnya. "Waktu aku pulang dengan temanku dan mampir di toserba.."

Johnny menghentikan gerakannya, tersenyum tipis sambil ia mengangguk pelan. "Kau pulang bersama Doyoung, kan?"

Sejeong membelalakkan matanya. Sebenarnya kalau ia tidak memberitahu Johnny juga tidak masalah. Hanya karena perlakuan manis yang kekasihnya berikan ini membuatnya ingin mengaku. Semacam pengakuan dosa mungkin?

"Kau sudah tahu? Siapa yang memberitahumu?"

"Aku melihatnya sendiri.." Lelaki itu meletakkan alat makan yang ia gunakan. Menyatukan kedua tangan sambil bertopang pada meja. Ia menatap lurus ke arah Sejeong sambil tersenyum.

"Untuk hari itu, aku juga ingin minta maaf karena berbohong. Saat meneleponmu aku baru saja pulang dari mengajar dan melihatmu bersama Doyoung saat aku menunggu bus di halte."

Ini aneh. Benar-benar aneh. Sejak hari mereka saling mengaku, ia merasa Johnny benar-benar berubah. Sejeong bisa katakan kalau perubahan ini baik karena Johnny tidak mudah cemburu seperti sebelumnya.

Tapi setelah dipikir-pikir kalau ia seperti ini, Sejeong jadi tidak tahu apa lelaki itu sungguh baik-baik saja atau hanya berusaha baik?

"Kau tidak marah?" Lalu perempuan itu menunduk sambil bermain dengan garpunya. "Aku merasa bersalah tiba-tiba.."

"Aku tidak apa-apa, Sejeong.." Johnny tertawa pelan, mengulurkan tangan untuk mengusap pelan puncak kepala kekasihnya. "Kau pulang dengan temanmu, tidak ada yang salah! Aku justru berterima kasih karena Doyoung mau mengantarmu pulang."

Johnny tidak tahu apa yang ia ucapkan itu sungguh tulus dari hatinya atau hanya sedang menghibur Sejeong. Sejak hari itu ia sudah berjanji untuk tidak menjadi seseorang yang mudah cemburu. Apa yang harus ditakutinya kalau memang Doyoung juga sudah bertunangan? Tidak mungkin lelaki itu dengan sembarangan membatalkan apa yang sudah ia lakukan sebelumnya. Itu bisa jadi bukti kalau Doyoung bukan lelaki yang baik.

Setidaknya ada satu langkah baik dengan ia yang seperti ini. Kembali menjadi sosok Seo Johnny yang sudah lama ia tinggalkan. Sejeong secara sukarela mengaku tentang hari itu yang bahkan bagi Johnny tidak perlu juga untuk dibicarakan.

"Ayo! Kau tidak ingin menghabiskan makananmu?"

Sejeong tampak tersenyum tipis, kemudian mengangguk. Mereka melanjutkan makan malam yang sempat tertunda.

***

"Orang tuamu tidak di rumah?"

Gyuri dan Jeno membantu Jisun membawa semua plastik-plastik berisi belanjaan itu ke dalam apartemen gadis tersebut. Jisun mulai mengeluarkan satu persatu isinya sambil memeriksa apa ada yang kurang dari bawaannya.

"Mereka berdua ke Busan." Gadis itu mendongak, menatap kedua temannya itu sambil tersenyum. "Kalian bantu aku memasak, eoh?"

Hari ini setelah pulang dari restoran, Jisun mengajak Gyuri dan Jeno juga untuk menemaninya di apartemen. Jisun bilang ingin mencoba menu masakan baru dan kedua temannya itu ia minta untuk membantunya, sekaligus menjadi orang pertama yang mencoba masakannya.

Mereka tidak banyak mengobrol karena Jisun tidak begitu suka kalau kegiatan memasaknya diganggu dengan hal-hal lain. Keduanya serius membantu Jisun memasak. Jeno membantu mencuci dan memotong-motong bahan makanan, Gyuri juga bertugas membantu membuatkan beberapa bumbu masakan sesuai arahan Jisun.

Butuh waktu hampir 2 jam mereka akhirnya menyelesaikan kegiatan memasak tersebut. Dalam waktu itu pula mereka juga menghasilkan 2 jenis masakan, satu hidangan pembuka dan satu lagi hidangan penutup.

Gyuri dan Jeno cepat-cepat mengambil alat makan masing-masing lalu mencicipi masakan buatan Jisun. Gadis itu duduk di dekat mereka sambil menopang dagu pada tangan yang bertumpu di meja.

"Bagaimana?"

"Wah, nuna! Hidangan penutupnya sangat lezat!"

"Kau harus menambah sedikit merica untuk hidangan pembuka."

"Ah? Benarkah? Aku harus mencatatnya.."

Jisun meraih buku kecil yang tadi ia pakai untuk membantunya melihat resep, menambahkan sedikit catatan sesuai dengan komentar yang diberikan Gyuri dan Jeno. Sementara kedua orang itu sibuk menyantap makanan tersebut.

"Kau tidak mau mencobanya lagi, nuna?"

"Tidak-tidak. Kalian habiskan saja!"

Gyuri dan Jeno saling memandang satu sama lain, kemudian dengan segera berebut untuk menghabiskan makanan buatan Jisun. Sementara gadis itu memilih bermain dengan ponselnya.

Mengirimkan pesan pada Doyoung misalnya.

Jisun N.
Kau sedang apa?

Kim Doyoung
Aku sedang lembur, seperti biasa..
(Send a pictures)

"Woah... Memang Doyoung oppa tidak pernah terlihat jelek sekali pun tidak tidur berhari-hari.."

Gadis itu terlonjak begitu Gyuri tiba-tiba menempel padanya. Jeno tertawa puas melihat kedua perempuan itu, terutama ekspresi terkejut Jisun.

"Eonni!"

"Maaf-maaf.."

Suara notifikasi pesan masuk membuat ketiganya mengalihkan perhatian. Ponsel milik Jisun. Gadis itu cepat-cepat membuka pesan itu.

Seoyeon Lee
Eonni! Hari ini mereka mengobrol di dekat ruang cetak lagi. Sepertinya mereka memang suka mengobrol disana.

"Seoyeon?"

Jisun cepat-cepat menyimpan ponselnya. Ia tersenyum tipis pada Gyuri. "Bukan.."

"Bukan? Bukan Seoyeon yang waktu itu?" Jisun mengangguk. "Noh Jisun, aku tahu kau berbohong.."

Kedua perempuan itu saling beradu tatap, membiarkan Jeno sebagai penonton dan menikmati hidangan penutup yang masih ada. Sampai akhirnya Jisun yang lebih dulu memutus kontak diantara keduanya, menghela napas pasrah.

"Iya, ini Seoyeon.."

"Berikan ponselmu!"

Ia pun menuruti Gyuri dengan memberikan ponselnya, membiarkan perempuan itu membaca semua pesan yang dikirimkan Seoyeon padanya. Sesekali ia melirik Jisun ditengah-tengah membaca pesan itu, menatapnya tajam.

'Sejeong tidak terlihat sehat. Sepertinya dia ingin mencari perhatian Doyoung oppa.'

'Aku ikut lembur dengan yang lain. Awalnya aku tidur lebih awal di kantor tapi kemudian aku melihat Doyoung oppa keluar dari departemen produksi. Sepertinya dia menemui Sejeong.'

'Kekasih Sejeong seorang penjaga kasir. Aku sempat mengobrol dengan Haechan soal ini karena kebetulan dia ikut Doyoung oppa waktu membeli makanan. Kau tahu, eonni? Doyoung oppa marah besar pada kami karena membicarakannya!'

'Hari ini aku melihat mereka pulang bersama. Sepertinya Sejeong menumpang untuk bisa pulang bersama Doyoung oppa.'

Gyuri membaca itu semua, menghela napas lalu mengembalikan ponsel itu pada Jisun. Kedua tangannya terlipat, siap menginterogasi Jisun karena pesan-pesan tadi.

"Kau tahu eonni aku tidak membalas pesannya."

"Tapi karena itu kau jadi sering terlihat murung juga? Kau memikirkan pesan-pesan itu kan? Takut kalau Doyoung oppa berpaling?"

Jisun menunduk, membiarkan Gyuri mengomel padanya. Semua tebakan itu tepat mengenainya dan Jisun tidak bisa mengelak. Memang ia benar-benar kepikiran tentang semua isi pesan itu.

Gyuri menghela napasnya, melirik Jeno yang diam mendengarkan. Merasa peka dengan maksud Gyuri, lelaki itu memilih pergi untuk memberi ruang pada keduanya. Mencuci semua alat yang tadi mereka gunakan lebih baik untuk membuang waktu.

Bisa dibilang, Gyuri ini paling cerewet soal mengurus kondisi Jisun. Perempuan itu seolah menggantikan sosok ibu yang cerewet baginya. Apalagi soal berhubungan dengan orang lain, Gyuri jadi orang yang sangat pemilih demi pergaulan Jisun yang baik.

"Sudah bagus dia tidak datang ke restoran dan mengganggumu. Apa maksudnya dengan mengadu domba dirimu dan Doyoung oppa? Coba katakan padaku, apa itu perbuatan yang baik?"

Jisun menggeleng pelan, "Tidak.."

"Sekarang dia terus menerormu, melaporkan semua ini dan itu. Membuatmu stres dan murung."

"Tapi kalau memang yang dia sampaikan benar.."

"Lalu kau langsung mendoktrin untuk tidak memercayai Doyoung oppa lagi?"

Jisun terdiam lama. Ia mulai merenungkan tentang semua hal yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini.

Memang Lee Seoyeon masih rajin melaporkan semua hal tentang Doyoung padanya. Apapun yang dilakukan lelaki itu. Kalau dipikir-pikir lagi, Seoyeon gadis mengerikkan sampai mengikuti segala hal yang dilakukan Doyoung.

"Aku awalnya biasa saja. Aku juga sempat marah dengan Doyoung oppa-tapi memang dia salah dengan bermesraan berlebihan di depan banyak orang. Tapi kau harus ingat, Jisun. Selama kita mengenalnya, Doyoung oppa selalu bertanggung jawab dengan segala sesuatu yang dilakukannya!"

Jisun setuju dengan itu. Selama ia mengenal Doyoung, lelaki itu sungguh berperilaku baik. Menaati aturan, bertanggung jawab setiap ia melakukan kesalahan dan selalu menepati atas apa yang diucapkannya.

Tapi itu semua tidak berlaku setiap ia dekat-dekat dengan Sejeong.

"Kau ingat kalau Doyoung oppa itu mantan kekasih Sejeong eonni.."

"Mm.. Aku ingat. Baik kau dan Doyoung oppa pernah menceritakannya padaku.."

"Sejeong eonni adalah orang yang berarti baginya.. Aku tidak akan cemburu kalau perempuan itu bukan Kim Sejeong."

Kenangannya berputar pada saat mereka saling mengenal. Kembali pada waktu Jisun yang gencar mengejar Doyoung, berusaha menarik perhatian lelaki itu. Bahkan penolakan secara langsung sering ia terima.

Sampai pada satu kalimat itu, ia benar-benar mengingatnya.

"Dia Kim Sejeong. Dia bukan kekasihku, tapi kami pernah berpacaran. Dan aku belum bisa melupakannya, Noh Jisun."

"Gadis yang ditunggu oleh Doyoung oppa sekarang berada didekatnya. Mereka bertemu, saling melepas rindu. Bahkan mereka bisa melakukan banyak hal menyenangkan demi menebus 10 tahun perpisahan mereka."

"Tapi sekarang Doyoung oppa memilihmu. Kalau dia masih menunggu Sejeong, untuk apa dia berani melamarmu, Jisun?"

"Bisa saja dia berubah pikiran." Jisun mendongak, menatap Gyuri dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. "Karena tidak ada yang pernah tahu perasaan seseorang, aku sangat takut kalau dia berubah pikiran."

Gyuri tidak tahu harus menjawab bagaimana. Soal perasaan, ia tidak berani memberi jawaban. Apalagi mengatakan kalimat menghibur seperti 'Doyoung tidak mungkin lari dari tanggung jawab' saja ia tidak sanggup. Seperti omong kosong.

"Bukan hanya aku takut Doyoung oppa menjauh, bagaimana dengan orang tuaku? Pertunangan waktu itu benar-benar acara besar. Mereka bahkan sudah bertanya kapan Doyoung oppa akan segera memikirkan soal pernikahan. Kalau itu semua batal, bukan hanya aku kehilangan Doyoung oppa, tapi juga kepercayaan dan kasih sayang orang tuaku. Aku sangat takut, eonni.."

Jisun tidak bisa lagi membendung air matanya. Gadis itu menangis, melepas semua sesak yang mencekiknya. Jeno datang membawakan segelas air untuk Jisun kalau-kalau gadis itu membutuhkannya untuk meminum obat.

"Jisun, tenangkan dirimu."

Gyuri meraih tangan Jisun, membiarkan gadis itu mencengkeram tangannya kuat. Ia mengalami serangan panik. Tubuhnya bergetar, napasnya tersengal. Jisun lupa cara bernapas. Cepat-cepat Jeno mencari obat yang disimpan pada laci di dapur, memberikannya pada Gyuri dan membantunya untuk memegangi Jisun agar gadis itu bisa meminum obatnya.

Selang beberapa menit, efek obat itu bekerja. Jisun mulai bernapas dengan normal, ia mulai terlihat tenang. Efek obat tidur juga membuat Jisun perlahan terlelap di bahu Gyuri. Kedua orang yang masih terjaga itu akhirnya bisa bernapas lega.

"Apa aku harus memberitahu ini pada Doyoung hyung, nuna?"

Gyuri menggeleng pelan. "Dia tidak perlu tahu tentang hari ini.."

"Tapi Jisun nuna.. Dia sudah lama tidak terkena serangan panik seperti tadi."

Perempuan itu dibuat berpikir sejenak, kembali menggeleng untuk menolak saran Jeno. "Tidak apa-apa. Ini juga masalah mereka. Kita tidak bisa ikut campur, Jeno. Lain kali kita bisa memberitahu kondisi Jisun padanya. Sekarang, bantu aku membawanya ke kamar!"

Jeno menurut, menggendong Jisun dengan mudah dan membawa gadis itu ke kamarnya dengan bantuan Gyuri pula. Gyuri menatap wajah lelap Jisun sambil sesekali menghela napasnya.

"Tugas kita hanya perlu menjaga Jisun, Jeno-ya. Jangan sampai dia terkena pengaruh buruk orang-orang yang ingin menjatuhkannya.."

***

To be Continue..

Bạn đang đọc truyện trên: TruyenHHH.com